Dulu (kesannya tua), cara orang-orang mendapatkan informasi sangat terbatas, kita ga perlu bahas zaman yang jauh, setidaknya seratusan tahun ini aja mulainya.
Di Indonesia sendiri, pada era penjajahan (1900an) memang koran sudah ada, meski terbatas dan tidak semua bisa menikmati, apalagi radio, belum semua orang bisa menikmati, karena dibutuhkan perangkat yang tidak murah.
Radio menjadi alat media untuk mendapatkan informasi, terlebih pada zaman menuju kemerdekaan, selain untuk informasi, juga digunakan untuk propaganda.
Setelah negara ini terbentuk, dan pembangunan terjadi, selain radio, koran menjadi tempat mendapatkan berita, lalu mulailah pada tahun 1962 TVRI berdiri, media Televisi menjadi primadona baru di Indonesia, karena kita bisa melihat gambar bergerak di layar, dimulai dengan TV hitam putih, sampai akhirnya berwarna.
Maju ke zaman sekarang, informasi sudah dimana-mana, orang sekarang relatif lebih mudah untuk mendapatkan informasi, berita, dan lainnya.
Sekarang informasi dengan mudah didapat dari media sosial.
Bisa itu Facebook, Twitter, Youtube, atau bahkan pesan WhatsApp, yang isinya sangat-sangat diragukan, dan bisa juga menaruh tautan menuju ke media-media sosial di atas atau lainnya.
Orang dengan mudah bisa menjadi “content creator”, “reporter” atau menjadi “jurnalis”, dengan keterampilan menyusun kata, meski acak-acakan juga tidak menjadi masalah, karena pasti akan ada yang membaca, atau mendukung selama narasinya mendukung pemikiran orang yang membaca.
Pernah mendengar orang berargumen, “berita ini ada di Google, pasti bener”? atau pesan berantai di WhatsApp dengan mencantumkan di bawahnya “DR blablabla S.POK ahli macam-macam”, orang bisa dengan mudah mempercayainya.
Darimana tau? dengan melihat dengan mata kepala sendiri diskusi di grup WhatsApp keluarga, yang bisa dengan mudah mempercayai apa yang ada di internet, dan menyebarkannya, bisa jadi niatnya baik, tapi tetap menjadi salah.
Gencarnya berita palsu, hoax, misinformasi, disinformasi, opini tanpa dasar memang menjadi risiko dari teknologi internet, lembaga seperti Mafindo, kemudian ada juga TurnBackHoax dan website lainnya yang berjuang melawan derasnya arus berita hoax, meski terkadang kewalahan, karena jumlah berita hoax yang diciptakan pastinya lebih banyak dari berita konfirmasinya, sedangkan beberapa (banyak) orang mungkin sudah terlanjut termakan dengan berita tersebut.
Sumber terpercaya
Meski ini tidak selalu menjadi jaminan, tapi setidaknya jika ada berita yang dimuat oleh media arus utama, misalkan Kompas, Tempo atau outlet yang besar lainnya, ini bisa lebih bisa dipertanggung jawabkan, meski lagi-lagi, ini tidak 100 % bisa dipertanggung jawabkan, seperti halnya manusia, reporter bisa saja ada yang malas untuk mencari sumber lain, jadi hanya mengandalkan satu sumber, dan juga terkadang ada reporter yang saya baca hanya berkutat di opini, atau reporter membuat opini yang bisa menggiring pembaca dan mempercayai bahwa ini keluar dari institusi pers.
Skeptisme yang sehat
Saya mencoba menanamkan hal ini ke keluarga, setiap ada berita, bisa itu berita baik atau buruk, selalu di mulai dengan sikap skeptis terlebih dahulu, tetapi skeptisme yang sehat, artinya, tidak langsung ditelan berita tersebut, selalu cari berita pembanding atau setidaknya ada beberapa outlet berita yang memberikan berita yang mirip atau senada.
Jika ini berita yang terjadi di luar negeri, ada baiknya juga membandingkannya dengan media asing arus utama seperti misalkan CNN, BBC, Al-Jazeera, Reuters dan lainnya, dan lagi-lagi, meski itu outlet berita besar, mereka juga tidak pernah lepas dari kesalahan, dan kesalahan pengartian bisa menjadi fatal, terlebih jika yang diartikan dari berita dengan bahasa lain.