Membangun aplikasi, zaman dulu merupakan hal yang lumayan memakan waktu, dari mulai men-desain, koding, deployment, masih ingat juga, dulu harus upload aplikasi web melalui FTP (belum ada GIT, atau CI/CD, dan SFTP belum umum), belum lagi harus setup database manual untuk menyimpan data.
Kemudian muncul tools yang lebih memudahkan developer/perusahaan dalam membuat aplikasi, testing, sampai deployment, dengan lahirnya cloud computing, menjadikan proses development sampai akhirnya di production lebih cepat dan terhitung mudah.
Dan kemudian baru-baru ini muncul inovasi berikutnya, yaitu low-code dan no-code development, apa itu?.
Low-code
Low code development, pengertian gampangnya kita membuat/men-develop sesuatu, misalkan website, aplikasi mobile, dengan cara sedikit coding, lebih cepat, lebih mudah, dengan low-code ini kita bisa menggunakannya untuk membuat MVP (minimum viable product), proses dimulai dari desain sampai akhirnya menjadi produk.
Low-code, yang bisa dibilang masuk ke kategori RAD (Rapid Application Development) dilengkapi dengan UI visual menghubungkan dengan database, dengan web API, atau ke sumber data lain. bisa juga diintegrasikan dengan layanan-layanan yang ada di internet seperti Twillio, mailchimp, Google Analytics dan lain-lain.
Penyedia layanan low-code antara lain ada Mendix, Outsystems, kedua layanan ini menyediakan aplikasi IDE (Integrated Development Environment) visual, yang bisa digunakan oleh pengguna untuk melakukan ”coding” di aplikasi tersebut, dan kemudian menghasilkan aplikasi mobile atau aplikasi web.
Selain IDE visual, low-code development environment juga menyediakan konektor ke sistem backend dan layanan lain, bisa itu media penyimpanan (storage), data, API external. Low-code juga dilengkapi dengan proses compile-build, debugging, deploy, mengatur sistem enviroment seperti testing, staging, production.
Vendor low-code seperti OutSystem atau Mendix biasanya menghasilkan aplikasi yang cross-platform, yang mana satu sumber bisa dipakai untuk mobile (iOS, Android) dan web sekaligus.
No-code
No-code lebih ekstrim lagi, tidak menggunakan kode sama sekali, tidak menggunakan kode, semua dilakukan melalui interface, biasanya berupa web, contoh yang bisa dilihat adalah Webflow, sebuah layanan untuk membuat website tanpa harus memiliki keterampilan membuat code backed atau frontend, desain, CSS, javascript, pemilihan gambar dan lain-lain.
Mirip dengan low-code, no-code juga mengandalkan API-API eksternal atau berupa widget yang sudah jadi, misalkan API untuk mengirim email, widget untuk chatting, atau API untuk membuat workflow seperti Zapier, dan lain sebagainya, yang kita tinggal lakukan hanya menghubungkannya dengan aplikasi yang kita buat.
Untuk sisi visual IDE-nya mungkin yang oldschool ingat sama Macromedia Dreamweaver.
Apakah bisa mengantikan koding ”konvensional”?
Low-code, no-code tidak serta merta mengganti flow development yang sebelumnya ada, karena low-code no-code, tidak bisa sampai ke development yang lebih mendalam, karena tidak menjawab isu sering muncul misalkan skalabilitas, kostumasi, karena kostumasi ini terbatas dengan tools/fitur yang ada disediakan.
Sumber lanjutan dan layanan