Menulis secara konsisten itu sulit, dan menulis konsisten tulisan yang bagus lebih sulit lagi

Menulis secara konsisten itu sulit, dan menulis konsisten tulisan yang bagus lebih sulit lagi
Photo by Clark Tibbs

Membuat tulisan yang bisa dihasilkan secara konsisten itu sulit, kalau hanya sekadar menulis “tanpa makna” mungkin bisa aja, tapi tetap saja meski menulis “tanpa makna”, melakukan hal itu secara konsisten tetap suatu hal sulit, apalagi menulis tulisan yang bagus, berguna, untuk diri sendiri atau orang lain.

Meski saya menulis dibeberapa tempat, seperti Seputar Finansial, Seputar Investasi, Investasi ETF dan di blog ini, tulisan di tempat-tempat tersebut terkadang banyak, terkadang sedikit, di blog ini saja misalkan, terakhir menulis adalah bulan lalu.

Baik itu artikel, atau jurnal kecil, atau yang lebih besar lagi, menulis buku, setidaknya kita sendiri bisa mengerti apa yang kita tuliskan, terkadang ketika ada ide, terus menulis, besoknya dilihat lagi, kita sendiri gak kenal atau ga ngerti tulisan kita sendiri apaan, hal ini membuktikan tips copywriting dari David Ogilvy yang pernah bilang,

Never send a letter or a memo on the day you write it. Read it aloud the next morning—and then edit it.

Penilaian untuk hasil yang bagus, tidak bagus, sepertinya ini terkadang terlalu subjektif, tergantung orangnya, menulis tentang budgeting misalkan, untuk beberapa orang mungkin berguna, tapi untuk orang lain, mungkin tidak, karena budgeting membosankan, dan saya sendiri tidak terlalu khawatir mengenai ini, yang penting bisa terus menulis.

Begitu juga kalau menulis tentang engineering, menulis tentang Kubernetes belum tentu menarik untuk engineer yang coding, atau database engineer.

Saya sendiri percaya, skill menulis ini skill yang harus terus dilatih dengan sering-sering menulis, skill akan terus membaik seiring waktu, dan topik bahasan yang kita tulis biasanya ada proses riset, membaca, pembuktian, dan seiring dengan seringnya melakukan ini, kemampuan kita dalam menulis, mengkonversi pikiran dalam alam pikiran ke dalam bentuk tulisan yang bermakna akan terus bertambah, iya, saya percaya itu, makanya sebisa mungkin terus menulis, apapun medianya.

Mencari Buku (bekas)

Mencari Buku (bekas)

Buku, untuk saya, menjadi salah satu sumber ilmu, alat untuk mengenal dunia, gerbang menuju alam pikiran yang tak terbatas, juga bisa menjadi “pelarian” dari dunia nyata, ada fakta, realita, imajinasi, fiksi, bisa beradu campur aduk dalam buku.

Dan saat ini sedang seru berburu buku bekas yang dijual di internet, dan hal ini kadang menambah ilmu buku-buku apa yang orang-orang beli, ada satu akun instagram yang saya ikuti dan akun tersebut menjual buku bekas (ada juga buku baru), tetapi buku bekas memiliki daya tarik sendiri, setidaknya menurut saya, selain harganya menjadi murah, kita bisa jadi tahu apa yang menjadi alam pikiran orang-orang ketika membaca buku tersebut, terkadang saya menemukan “harta karun”, pikiran-pikiran yang ditulis oleh pemilik sebelumnya, seperti misalkan photo yang saya pasang di atas.

Buku di atas adalah buku bekas, novel yang bercerita tentang opresi pria terhadap wanita, berjudul The Handmaid’s Tale.

Hal lain yang dilakukan tentunya, ketika akun instagram yang jual buku tersebut mengeluarkan daftar buku-buku yang dijual minggu itu, lihat komparasi, terus lihat juga review buku tersebut di Goodread.

Whataboutism Fallacy

Whataboutism Fallacy
Photo by 傅甬 华

Baru-baru ini ketemu dengan kata Whataboutism, kata ini sudah lama digunakan, kalo menurut Wikipedia, kata ini mulai digunakan pada tahun 1970an, dan Whataboutism merupakan satu logical fallacy, kesalahan logika berpikir, dengan mengemukakan argumen-argumen yang salah terhadap suatu masalah, mungkin kalo di bahasa Indonesia, Whataboutism bisa dibebas artikan seperti membelokan masalah dengan masalah lain yang seperti berkaitan padahal tidak.

Whataboutism lebih ke penyangkalan atas suatu masalah, membandingkan masalah satu dengan masalah lain, yang dibutuhkan hanya satu persamaan, meskipun itu berbeda konteks.

Contoh, rokok, banyak artikel, referensi yang menyebutkan bahwa rokok itu berbahaya bagi kesehatan, terutama paru-paru, jantung dan lainnya, untuk yang membela rokok habis-habisan akan melakukan penyangkalan, mungkin dengan bilang, “iya rokok berbahaya bagi kesehatan jantung, paru, tapi bagaimana dengan polusi asap kendaraan? itu juga berbahaya, kenapa mobil-mobil tidak ada imbauan mengenai bahaya mengendarai mobil bagi paru-paru orang lain?”.

Familiar dengan argumen seperti di atas?

Atau mungkin dengan kasus yang sedang ramai sekarang? Anjing yang bernama Canon, yang dimatikan untuk melancarkan apa yang disebut Wisata Halal, tidak mau ada anjing yang notabene najis jika dipegang (bukan haram ya), banyak yang protes dengan cara perlakuan aparat terhadap Canon, karena menyiksa hewan tersebut, termasuk selebritas, tapi untuk yang mendukung aksi tersebut malah membuat argumen “bagaimana dengan orang yang mengkonsumsi daging anjing? kenapa tidak ada yang protes?”, argumen tersebut tentu saja keluar konteks dan tidak nyambung, bukan fokus terhadap masalah yang ada, tapi mengalihkan ke masalah lain yang berbeda konteks.

Whataboutism juga dianggap sebagai suatu argumen kemalasan, tidak mampu berargumen yang tepat sasaran, yang lalu “mengarang” argumen untuk menyerang argumen lawan yang mungkin dikiranya nyambung, tapi keluar konteks.

Memilih apa yang tidak perlu dibaca

Memilih apa yang tidak perlu dibaca
Photo by Habib Dadkhah

Informasi, berita, data, mengalir dengan sangat derasnya, kita bisa mendapatkan berita dari belahan dunia manapun dengan sangat cepat, di ujung jari, berita kemarin bisa jadi basi atau sudah diubah dengan status berita yang baru.

Mau cari apa saja sekarang gampang, mau belajar apa, mau memcari tahu tentang apa, gampang, dan dengan kegampangan itu semua, pertanyaan sepertinya berbalik dari bagaimana mencari informasi, menjadi bagaimana cara memilih informasi apa yang bisa atau perlu saya baca yang diyakini sumber yang benar.

Ketertarikan kita akan suatu subjek bisa jadi permulaan, misalkan karena bidang IT adalah bidang yang saya geluti sejak lama, dan dalam IT, setidaknya di dunia saya, jika informasi tersebut tidak benar, lebih mudah dibuktikannya, ada validator, komputer, apa yang ditulis satu orang tentang satu teknik programming, bisa dibuktikan dan validasi dengan mudah apa yang menjadi masalah.

Hal akan sulit dibuktikan, divalidasi, jika topik yang dibicarakan lebih ke topik sosial misalkan, atau budaya, atau mungkin agama, tidak ada ukuran pasti yang bisa dijadikan acuan, masing-masing bisa menjadi merasa benar, di sinilah saya mencoba menjauhi topik seperti ini, terutama tentang agama, gak ada ujungnya, malah cenderung menjadi sumber konflik.

Pilih mana yang tidak perlu dibaca, saring, selalu memiliki sikap skeptis yang sehat terhadap suatu pesan (whatsapp, telegram, dll), artikel atau berita.

New study reveals iPhones aren't as private as you think →

New study reveals iPhones aren
Photo by Rami Al-zayat

“Both iOS and Google Android share data with Apple/Google on average every 4.5 [minutes],” a research paper published last week by Trinity College in Dublin says. “The ‘essential’ data collection is extensive, and likely at odds with reasonable user expectations.”

and

“Both iOS and Google Android transmit telemetry, despite the user explicitly opting out of this,” the paper adds. “However, Google collects a notably larger volume of handset data than Apple.”

Welp, nothing is safe, we are trading convenience with privacy, there’s no absolute privacy, what we can do is just minimize the impact.